BAB I
Pendahuluan
Manusia diberikan
mandat kebudayaan oleh Tuhan untuk berkuasa atas seluruh alam semesta, yang
artinya semua ciptaan Tuhan yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh manusia.
Dalam kaitannya dengan lingkungan, sikap manusia terhadap lingkungan tentu saja
menentukan kelestarian lingkungan tersebut. Tanggung jawab yang diberikan
kepada manusia bukan berarti manusia bertindak sewenang-wenang, namun manusia
harus tetap menjaga keberadaan lingkungan. Di sisi lain, karena keegoisannya
manusia menjadi penyebab kerusakan alam/lingkungan. Manusia mempergunakan
tanggung jawab dari Tuhan secara brutal.
Adanya kontras di
atas bukanlah hal baru dalam kehidupan ini. Alkitab telah menyatakan hal
tersebut, bahkan memperingati manusia agar mendayagunakan alam/lingkungan
secara baik; salah satunya terdapat dalam kitab Amsal. Ada banyak hal yang
terjadi dengan sikap manusia terhadap alam/lingkungan. Hal ini tidak terlepas
dari tindakan manusia itu sendiri. Sikap manusia yang cenderung serakah dan
tidak menggunakan kekuasaannya dengan benar telah membuat lingkungan menjadi
rusak. Manusia yang kurang bersahabat dengan lingkungan telah mengakibatkan
terjadinya banyak bencana. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang alkitabiah
guna mengetahui apa yang sebenarnya harus manusia lakukan terhadap alam.
Kitab Amsal
sebagai salah satu sumber hikmat manusia memaparkan cara yang tepat agar
manusia tidak menyalaggunakan alam ciptaan-Nya. Dengan segala kekhasannya,
Amsal menuturkan keindahan yang luhur sebagai dasar keteladanan manusia. Tanpa
adanya pemahaman yang benar berdasarkan terang Ilahi, manusia akan terus
menerus terjebak dalam ketidakbenaran, dan untuk itulah Tuhan memberikan
tuntunan-Nya yang sungguh mulia sehingga manusia “memiliki sikap yang benar
terhadap alam”.
BAB II
Pembahasan
Sikap
Manusia Terhadap Lingkungan
Dalam kitab Amsal terdapat begitu banyak pengajaran, salah satunya adalah pengajaran mengenai kecintaan
terhadap lingkungan. Pada makalah ini, kelompok mengklasifikasikan pengajaran tersebut dalam tiga bagian, yaitu: (1)
sikap manusia terhadap binatang, (2) tumbuhan, dan (3)
tanah. Pembagian ini memiliki kesejajaran yang sama.
v Sikap Manusia Terhadap Binatang
Amsal 12 (10) Orang
benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam.
Amsal 14 (4) Kalau tidak
ada lembu, juga tidak ada gandum, tetapi dengan kekuatan sapi banyaklah hasil.
Amsal 27 (23) Kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu,
perhatikanlah kawanan hewanmu. (24) Karena harta benda tidaklah abadi. Apakah mahkota tetap turun-temurun? (25) Kalau rumput menghilang dan tunas muda nampak, dan
rumput gunung dikumpulkan, (26) maka engkau mempunyai domba-domba muda untuk pakaianmu dan
kambing-kambing jantan untuk pembeli ladang, (27) pula cukup susu kambing untuk makananmu dan makanan
keluargamu, dan untuk penghidupan pelayan-pelayanmu perempuan.
Amsal 12:10 berbicara tentang kebenaran :




Pada
bagian ini pengamsal memberikan pengajaran perbandingan, antara orang
fasik dan orang benar, di mana
sebuah kebenaran dapat dilihat dari tindakan sehari-harinya, yaitu tentang
kecintaannya kepada binatang. Hal ini ditunjukkan dengan penggunan dua kata sejajar “memperhatikan”
(benar) dan “belas kasihan”
(fasik).
Dalam terjemahan asli kata “memperhatikan” adalah יָדַע (yada` KJV: regardeth), yang diartikan:[1]
1. to know
2. (properly)
to ascertain by seeing
3. used in a great variety of senses
Ini membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
orang benar (misalnya dengan memelihara hewan) adalah suatu tindakan memperhatikan tiap-tiap hari. Hal ini berbanding terbalik dengan orang fasik yang tindakannya
adalah menyiksa.[2] Orang baik yang mengurus dan memperhatikan hewan dengan baik
sedangkan orang jahat yang hanya bisa menyiksa untuk mengambil keuntungan dari hewannya bisa dilihat juga dalam kitab Yehezkiel 34.
Amsal 27:23-27 mengajarkan tentang:




Pengajaran di atas merupakan
bentuk pengajaran yang sejajar, di mana pengamsal memberikan inti kesimpulan tentang tindakan sehari-hari. Inti pengajaran adalah “harta benda tidak
abadi”, sehingga pengamsal memberikan pengajaran bahwa setiap orang
janganlah mengumpulkan harta yang tidak abadi tetapi biarlah harta yang ada
dinikmati dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada orang Israel bahwa Tuhan memelihara kehidupan umat-Nya dengan mencukupkan kebutuhan yang mendasar (sandang, papan, dan pangan). Itulah yang diperlihatkan oleh penulis.
v Sikap Manusia Terhadap Tumbuhan
Amsal 11 (26) Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat
turun di atas kepala orang yang menjual gandum.
Amsal 15 (4) Lidah
lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati.
Amsal 25 (11) Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah
apel emas di pinggan perak.
Amsal 27 (18)
Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya, dan siapa menjaga tuannya akan
dihormati.
Pengajaran yang kedua tentang lingkungan (dikhususkan mengenai tumbuhan), berisi pengajaran
kebijaksanan tentang tata cara/etika hidup
manusia. Pengajaran ini pun merupakan suatu kesejajaran, sebagaimana yang terdapat dalam Amsal 11:26;
15:4; 25:11; dan 27:18. Kesejajaran ini mengajarkan tingkah laku yang
baik, yang akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Pengajaran mengenai tumbuhan dapat dianalisa:





Jika ditinjau dari penggunan bahasa, frasa di atas bermakna sebab akibat, karena dari
apa yang dilakukan akan mengakibatkan keuntungan dan kerugian. Pada frasa “ucapan tepat”, kata “tepat” berasal dari kata אוֹפֶן ('ophen KJV: fitly).
Kata ini bisa diartikan[3]:
1. a turn
2. a season
Bentuk verb particle preposition homonym, memberikan kata ini makna: kebenaran
atau ketepatan yang dilakukan secara
terus menerus dengan seimbang dan tepat. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang yang
bijak dapat menggunakan perkatan yang tepat,[4] dan
perkatan juga dapat untuk menegur suatu kesalahan. Pengajaran
yang dimaksud oleh penulis bertujuan untuk mendidik orang menjadi bijak.
Pada bagian yang selanjutnya, terdapat
pengajaran moral mengenai pemeliharaan. Hal ini diistilakan
sebagai “memelihara pohon ara memakan buah”, untuk menujuk kepada pengabdian seorang hamba kepada
tuanya yang akan menghasilkan penghormatan dari tuanya. Kata “memelihara” dalam
terjemahan aslinya menggunakan נָצַר natsar (naw-tsar'), yang berarti: to
guard, in a good sense (to protect, maintain, obey, etc.) or a bad one (to
conceal, etc.); KJV: keepeth yang berarti
menjaga dengan baik. Natsar (verb qal participle
masculine singular absolute) menjelaskan
bahwa penjagaan yang dilakukan adalah suatu kegiatan yang secara
terus menerus berlangsung dan penuh kesungguhan. Jelaslah bahwa tindakan ini mengindikasikan adanya penghormatan yang diberikan kepada orang yang telah
dijagai. Sedangkan
“makan buahnya” sama dengan menikmati penghormatan dari tuannya. Itulah inti yang
diberikan oleh pengamsal bahwa menggunakan
perkataan tepat pada waktunya, dan memberikan kasih kepada semua
orang pada waktu yang tepat akan
menghasilkan penghargan dari orang lain.
v Siakap Manusia Terhadap Tanah
Amsal 12 (11) Siapa
mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang
yang sia-sia, tidak berakal budi.
Amsal 28 (19) Siapa
mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang
yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan.
Pada bagian ini, pengamsal
mengajarkan tentang cara
kerja manusia
dalam rangka menggunakan tanah. Dengan cara yang tepat,
manusia bisa menjadi rajin dan tanah yang dikerjakannya akan memberikan hasil dan kecukupan untuk dirinya.
Amsal 12:11 dan 28:19 menggunakan tanah sebagai bahan teguran, yang bertujuan untuk membuat manusia kembali berpikir
terbuka dan mengingat kembali
tentang penyerahan kekuasan dari Allah untuk manusia menguasai tanah (Kej
1:26-28). Dua bagian ini dengan jelas menegur kita agar tidak menjadi orang malas, dan dapat bekerja
dengan baik terhadap apa yang telah diserahi oleh Allah.
Pada dua bagian ini, pengamsal
memberikan pengajaran tentang
dua sisi pencarian. Pada bagian
pertama, berbicara perihal mencapai kemakmuran,
pengamsal mengajarkan manusia harus bertindak/mengerjakan.
kata mengerjakan berasal dari kata עָבַד `abad
(aw-bad') yang berarti:[5]
1. to work (in any sense)
2. (by implication) to serve, till
3. (causatively) to enslave
Kata ini
diterjemahkan dalam KJV dengan tilleth, dengan bentuk verb qal participle masculine singular absolute. Meski dua pasal
tersebut tidak terkait secara berurutan dan terpisah beberapa pasal, dua pasal tersebut menggunakan susunan
kata yang mirip, dengan kata kerja yang sama. Ini menunjuk pada kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus.[6]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengerjakan tanah harus dilakukan secara
terus-menerus. Orang yang bijak akan memperoleh makanan dari apa yang dikerjakannya secara terus-menerus, dan hal tersebut
akan menghasilkan
kekayaaan.[7] Inilah pengajaran pertama yang diberikan oleh
pengamsal agar manusia menjadi orang yang sukses dan tidak mengalami
kemiskinan dalam hidupnya.
Pengajaran
yang kedua dinyatakan dengan kata mengejar. Kata ini dalam bahasa aslinya memakai kata רָדַף radaph (raw-daf') yang berarti:[8]
1. to run after (usually with hostile intent
2. figuratively (of time) gone by)
Hal ini memberikan pengertian bahwa tindakan tersebut dilakukan secara terus menerus dan dengan penuh
kesungguhan disertai dengan tindakan yang sangat keras. Berarti pengejaran yang dilakukan oleh
orang bodoh ini sangat keras untuk mendapkan barang yang sia-sia tanpa
mempedulikan kehidupan sekitarnya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengejar diartikan dengan
(1) berlari untuk menyusul (menangkap dsb); memburu; (2) berusaha keras hendak mencapai
(mendapatkan dsb).[9] Di sini mengindikasikan bahwa seseorang tersebut mengejar dan memburu dengan
penuh komitmen.
Sayangnya hal itu adalah suatu kesia-siaan, akibat yang didapatnya
adalah: pertama ia dikatakan bodoh atau tidak berakal, yang kedua adalah akan
mengalami kemiskinan.[10] Karena memburu yang sia-sia sebagai tujuan utama,
ia mengabaikan yang inti dalam hidupnya;
dan kemiskinanlah yang dialaminya. Inilah bentuk pengajaran yang digambarkan
oleh pengamsal
agar manusia menjadi bijak mendayagunakan
alam/lingkungan sebagai upayanya mewujudkan mandat budaya.
BAB III
Penutup
Sebagaimana
yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, apa yang terdapat dalam kitab
Amsal adalah sekumpulan perbandingan atas dasar pengamatan dan pemikiran yang
bermaksud untuk mengajar orang-orang dalam hal “tingkah laku yang benar”.
Sebagai pengajaran, amsal-amsal tersebut merupakan hikmat yang praktis dan
bermanfaat yang berakar dalam berbagai pengalaman hidup yang lazim bagi
kebudayaan manusia. Sifat ini menjelaskan nilai abadi kitab Amsal untuk para
pembcanya di sepanjang masa.
Pesan yang
terdapat dalam kitab Amsal memberikan arahan hikmat bagi manusia agar berdisiplin
untuk berjalan pada arahan kebijaksanaan dan pengertian. Ini menjadikan manusia
semakin sadar akan hakikat hidupnya dan memiliki respon yang baik mengenai
seluruh hidupnya. Demikian pun dengan lingkungan, yang adalah tempat hidup
manusia. Tanpa lingkungan, manusia tidak akan pernah bisa hidup. Sehingga
dengan pembahasan mengenai “Sikap Manusia Terhadap Alam/Lingkungan” dapat
disimpulkan:
1. Manusia harus memperlakukan alam ciptaan-Nya
secara baik
2. Dengan memperlakukan alam ciptaan-Nya
secara baik, menunjukkan bahwa manusia menghormati Sang Pencipta.
3. Menghormati Sang Pencipta menunjukkan bahwa
manusia tunduk di bawah otorits-Nya.
4. Otoritas-Nya yang mencakup seluruh alam
semesta menunjukkan bahwa semuanya itu adalah bagian yang harus dipelihara oleh
manusia, yang adalah ciptaan-Nya yang sempurna.
5. Pemeliharaan manusia terhadapa alam tidak
hanya sebagai pemenuhan mandat kebudayaan tapi juga memberikan hikmat dan
pengajaran yang berharga bagi kehidupannya.
6. Dengan adanya hikmat tersebut, manusia akan
menajdi pribadi yang lebih baik lagi dan hal itu membuat manusia semakin bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Alden, Robert
L.,
2008 Tafsiran Praktis Kitab Amsal, (Malang: Literatur Saat,
2008),
A.
Simanjutak, A.,
Tafsiran Alkitab Masa Kini Ayub-Maleakhi
Aplikasi Komputer
kbbi offline 1.3
theword.net
0 komentar:
Posting Komentar