Jumat, 24 Mei 2013

Sikap Manusis Terhadap Mahkluk Hidup



BAB I
Pendahuluan
            Manusia diberikan mandat kebudayaan oleh Tuhan untuk berkuasa atas seluruh alam semesta, yang artinya semua ciptaan Tuhan yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh manusia. Dalam kaitannya dengan lingkungan, sikap manusia terhadap lingkungan tentu saja menentukan kelestarian lingkungan tersebut. Tanggung jawab yang diberikan kepada manusia bukan berarti manusia bertindak sewenang-wenang, namun manusia harus tetap menjaga keberadaan lingkungan. Di sisi lain, karena keegoisannya manusia menjadi penyebab kerusakan alam/lingkungan. Manusia mempergunakan tanggung jawab dari Tuhan secara brutal.
Adanya kontras di atas bukanlah hal baru dalam kehidupan ini. Alkitab telah menyatakan hal tersebut, bahkan memperingati manusia agar mendayagunakan alam/lingkungan secara baik; salah satunya terdapat dalam kitab Amsal. Ada banyak hal yang terjadi dengan sikap manusia terhadap alam/lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari tindakan manusia itu sendiri. Sikap manusia yang cenderung serakah dan tidak menggunakan kekuasaannya dengan benar telah membuat lingkungan menjadi rusak. Manusia yang kurang bersahabat dengan lingkungan telah mengakibatkan terjadinya banyak bencana. Untuk itulah diperlukan pemahaman yang alkitabiah guna mengetahui apa yang sebenarnya harus manusia lakukan  terhadap alam.
Kitab Amsal sebagai salah satu sumber hikmat manusia memaparkan cara yang tepat agar manusia tidak menyalaggunakan alam ciptaan-Nya. Dengan segala kekhasannya, Amsal menuturkan keindahan yang luhur sebagai dasar keteladanan manusia. Tanpa adanya pemahaman yang benar berdasarkan terang Ilahi, manusia akan terus menerus terjebak dalam ketidakbenaran, dan untuk itulah Tuhan memberikan tuntunan-Nya yang sungguh mulia sehingga manusia “memiliki sikap yang benar terhadap alam”.
  
BAB II
Pembahasan
Sikap Manusia Terhadap Lingkungan
Dalam kitab Amsal terdapat begitu banyak pengajaran, salah satunya adalah pengajaran mengenai kecintaan  terhadap lingkungan. Pada makalah ini, kelompok mengklasifikasikan pengajaran tersebut dalam tiga bagian, yaitu: (1) sikap manusia terhadap binatang, (2) tumbuhan, dan (3) tanah. Pembagian ini memiliki kesejajaran yang sama.
v  Sikap Manusia Terhadap Binatang
Amsal 12 (10) Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam.
Amsal 14 (4) Kalau tidak ada lembu, juga tidak ada gandum, tetapi dengan kekuatan sapi banyaklah hasil.
Amsal 27 (23) Kenallah baik-baik keadaan kambing dombamu, perhatikanlah kawanan hewanmu. (24) Karena harta benda tidaklah abadi. Apakah mahkota tetap turun-temurun? (25) Kalau rumput menghilang dan tunas muda nampak, dan rumput gunung dikumpulkan, (26) maka engkau mempunyai domba-domba muda untuk pakaianmu dan kambing-kambing jantan untuk pembeli ladang, (27) pula cukup susu kambing untuk makananmu dan makanan keluargamu, dan untuk penghidupan pelayan-pelayanmu perempuan.
Amsal 12:10  berbicara tentang kebenaran :
orang         hewan         benar {orang                   hewan      fasik}
Pada bagian ini pengamsal memberikan pengajaran perbandingan, antara orang fasik dan orang benar, di mana sebuah kebenaran dapat dilihat dari tindakan sehari-harinya, yaitu tentang kecintaannya kepada binatang. Hal ini ditunjukkan dengan penggunan dua kata sejajar  memperhatikan (benar) dan belas kasihan (fasik). Dalam terjemahan asli kata “memperhatikan adalah יָדַע (yada` KJV: regardeth), yang diartikan:[1]
1. to know
2. (properly) to ascertain by seeing
3. used in a great variety of senses

Ini membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang benar (misalnya dengan memelihara hewan) adalah suatu tindakan memperhatikan tiap-tiap hari. Hal ini berbanding terbalik dengan orang fasik yang tindakannya adalah menyiksa.[2] Orang baik yang mengurus dan memperhatikan hewan dengan baik sedangkan orang jahat yang hanya bisa menyiksa untuk mengambil keuntungan dari hewannya bisa dilihat juga dalam kitab Yehezkiel 34.

Amsal 27:23-27 mengajarkan tentang:
(Harta benda       tidak abadi = mahkota        tidak turun-temurun)
Bentuk pengajaran: perhatikan       hewan        kawanannya
Pengajaran di atas merupakan bentuk pengajaran yang sejajar, di mana pengamsal memberikan inti kesimpulan tentang tindakan sehari-hari. Inti pengajaran adalah harta benda tidak abadi, sehingga pengamsal memberikan pengajaran bahwa setiap orang janganlah mengumpulkan harta yang tidak abadi tetapi biarlah harta yang ada dinikmati dengan baik. Hal ini mengajarkan kepada orang Israel bahwa Tuhan memelihara kehidupan umat-Nya dengan mencukupkan kebutuhan yang mendasar (sandang, papan, dan pangan). Itulah yang diperlihatkan oleh penulis.
 

v  Sikap Manusia Terhadap Tumbuhan
Amsal 11 (26) Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang yang menjual gandum.
Amsal 15 (4) Lidah lembut adalah pohon kehidupan, tetapi lidah curang melukai hati.
Amsal 25 (11) Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.
Amsal 27 (18) Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya, dan siapa menjaga tuannya akan dihormati.
Pengajaran yang kedua tentang lingkungan (dikhususkan mengenai tumbuhan), berisi pengajaran kebijaksanan tentang tata cara/etika hidup manusia. Pengajaran ini pun merupakan suatu kesejajaran, sebagaimana yang terdapat  dalam Amsal 11:26; 15:4; 25:11; dan 27:18. Kesejajaran ini mengajarkan tingkah laku yang baik, yang akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Pengajaran mengenai tumbuhan dapat dianalisa:
Ucapan tepat       apel emas       pinggang perak = Lidah lembut        Pohon kehidupan
lidah curang              melukakan hati = menahan gandum              dikutuki

Jika ditinjau dari penggunan bahasa, frasa di atas bermakna sebab akibat, karena dari apa yang dilakukan akan mengakibatkan keuntungan dan kerugian. Pada frasa “ucapan tepat”, kata tepatberasal dari kata אוֹפֶן ('ophen KJV:  fitly). Kata ini bisa diartikan[3]:
1. a turn
2. a season

Bentuk verb particle preposition homonym, memberikan kata ini makna: kebenaran atau ketepatan yang dilakukan secara terus menerus dengan seimbang dan tepat. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang yang bijak dapat menggunakan perkatan yang tepat,[4] dan perkatan juga dapat untuk menegur suatu kesalahan. Pengajaran yang dimaksud oleh penulis bertujuan untuk mendidik orang menjadi bijak.
Pada bagian yang selanjutnya, terdapat pengajaran moral mengenai pemeliharaan. Hal ini diistilakan sebagai “memelihara pohon ara memakan buah, untuk menujuk kepada pengabdian seorang hamba kepada tuanya yang akan menghasilkan penghormatan dari tuanya. Kata memelihara dalam terjemahan aslinya menggunakan נָצַר natsar (naw-tsar'), yang berarti: to guard, in a good sense (to protect, maintain, obey, etc.) or a bad one (to conceal, etc.); KJV: keepeth yang berarti menjaga dengan baik. Natsar (verb qal participle masculine singular absolute) menjelaskan bahwa penjagaan yang dilakukan adalah suatu kegiatan yang secara terus menerus berlangsung dan penuh kesungguhan. Jelaslah bahwa tindakan ini mengindikasikan adanya penghormatan yang diberikan kepada orang yang telah dijagai. Sedangkan “makan buahnya sama dengan menikmati penghormatan dari tuannya. Itulah inti yang diberikan oleh pengamsal bahwa menggunakan perkataan tepat pada waktunya, dan memberikan kasih kepada semua orang pada waktu yang tepat akan menghasilkan penghargan dari orang lain.

v  Siakap Manusia Terhadap Tanah
Amsal 12 (11) Siapa mengerjakan tanahnya, akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia, tidak berakal budi.
Amsal 28 (19) Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan.
            Pada bagian ini, pengamsal mengajarkan tentang cara kerja manusia dalam rangka menggunakan tanah. Dengan cara yang tepat, manusia bisa menjadi rajin dan tanah yang dikerjakannya akan memberikan hasil dan kecukupan untuk dirinya. Amsal 12:11 dan 28:19 menggunakan tanah sebagai bahan teguran, yang bertujuan untuk membuat manusia kembali berpikir terbuka dan mengingat kembali tentang penyerahan kekuasan dari Allah untuk manusia menguasai tanah (Kej 1:26-28). Dua bagian ini dengan jelas menegur kita agar tidak menjadi orang malas, dan dapat bekerja dengan baik terhadap apa yang telah diserahi oleh Allah.
Pada dua bagian ini, pengamsal memberikan pengajaran tentang dua sisi pencarian. Pada bagian pertama, berbicara perihal mencapai kemakmuran, pengamsal mengajarkan manusia harus bertindak/mengerjakan. kata mengerjakan berasal dari kata עָבַד `abad (aw-bad') yang berarti:[5]
1. to work (in any sense)
2. (by implication) to serve, till
3. (causatively) to enslave
Kata ini diterjemahkan dalam KJV dengan tilleth, dengan bentuk verb qal participle masculine singular absolute. Meski dua pasal tersebut tidak terkait secara berurutan dan terpisah beberapa pasal, dua pasal tersebut menggunakan susunan kata yang mirip, dengan kata kerja yang sama. Ini menunjuk pada kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus.[6] Sehingga dapat disimpulkan bahwa mengerjakan tanah harus dilakukan secara terus-menerus. Orang yang bijak akan memperoleh makanan dari apa yang dikerjakannya secara terus-menerus, dan hal tersebut akan menghasilkan kekayaaan.[7] Inilah pengajaran pertama yang diberikan oleh pengamsal agar manusia menjadi orang yang sukses dan tidak mengalami kemiskinan dalam hidupnya.
            Pengajaran yang kedua dinyatakan dengan kata mengejar. Kata ini dalam bahasa aslinya memakai kata רָדַף radaph (raw-daf') yang berarti:[8]
1. to run after (usually with hostile intent
2. figuratively (of time) gone by)

Hal ini memberikan pengertian bahwa tindakan tersebut dilakukan secara terus menerus dan dengan penuh kesungguhan disertai dengan tindakan yang sangat keras. Berarti pengejaran yang dilakukan oleh orang bodoh ini sangat keras untuk mendapkan barang yang sia-sia tanpa mempedulikan kehidupan sekitarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengejar diartikan dengan (1) berlari untuk menyusul (menangkap dsb); memburu; (2) berusaha keras hendak mencapai (mendapatkan dsb).[9] Di sini mengindikasikan bahwa seseorang tersebut mengejar dan memburu dengan penuh komitmen.
Sayangnya hal itu adalah suatu kesia-siaan, akibat yang didapatnya adalah: pertama ia dikatakan bodoh atau tidak berakal, yang kedua adalah akan mengalami kemiskinan.[10] Karena memburu yang sia-sia sebagai tujuan utama, ia mengabaikan yang inti dalam hidupnya; dan kemiskinanlah yang dialaminya. Inilah bentuk pengajaran yang digambarkan oleh pengamsal agar manusia menjadi bijak mendayagunakan alam/lingkungan sebagai upayanya mewujudkan mandat budaya.
 

BAB III
Penutup
Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, apa yang terdapat dalam kitab Amsal adalah sekumpulan perbandingan atas dasar pengamatan dan pemikiran yang bermaksud untuk mengajar orang-orang dalam hal “tingkah laku yang benar”. Sebagai pengajaran, amsal-amsal tersebut merupakan hikmat yang praktis dan bermanfaat yang berakar dalam berbagai pengalaman hidup yang lazim bagi kebudayaan manusia. Sifat ini menjelaskan nilai abadi kitab Amsal untuk para pembcanya di sepanjang masa.
Pesan yang terdapat dalam kitab Amsal memberikan arahan hikmat bagi manusia agar berdisiplin untuk berjalan pada arahan kebijaksanaan dan pengertian. Ini menjadikan manusia semakin sadar akan hakikat hidupnya dan memiliki respon yang baik mengenai seluruh hidupnya. Demikian pun dengan lingkungan, yang adalah tempat hidup manusia. Tanpa lingkungan, manusia tidak akan pernah bisa hidup. Sehingga dengan pembahasan mengenai “Sikap Manusia Terhadap Alam/Lingkungan” dapat disimpulkan:
1.      Manusia harus memperlakukan alam ciptaan-Nya secara baik
2.      Dengan memperlakukan alam ciptaan-Nya secara baik, menunjukkan bahwa manusia menghormati Sang Pencipta.
3.       Menghormati Sang Pencipta menunjukkan bahwa manusia tunduk di bawah otorits-Nya.
4.      Otoritas-Nya yang mencakup seluruh alam semesta menunjukkan bahwa semuanya itu adalah bagian yang harus dipelihara oleh manusia, yang adalah ciptaan-Nya yang sempurna.
5.      Pemeliharaan manusia terhadapa alam tidak hanya sebagai pemenuhan mandat kebudayaan tapi juga memberikan hikmat dan pengajaran yang berharga bagi kehidupannya.
6.      Dengan adanya hikmat tersebut, manusia akan menajdi pribadi yang lebih baik lagi dan hal itu membuat manusia semakin bijaksana.


DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Alden, Robert L.,
2008                Tafsiran Praktis Kitab Amsal, (Malang: Literatur Saat, 2008),
A. Simanjutak, A.,
Tafsiran Alkitab Masa Kini Ayub-Maleakhi

Aplikasi Komputer
kbbi offline 1.3
theword.net


[1] www.theword.net
[2] Robert L. Alden, Tafsiran Praktis Kitab Amsal, (Malang: Literatur Saat, 2008), 129
[3] www.theword.net
[4] Robert L. Alden, Tafsiran Praktis Kitab Amsal, 243
[5] www.theword.net
[6] Robert L. Alden, Tafsiran Praktis Kitab Amsal, 265
[7] A. Simanjutak, Tafsiran Alkitab Masa Kini Ayub-Maleakhi, 317
[8] www.theword.net
[9] kbbi offline 1.3
[10] Robert L. Alden, Tafsiran Praktis Kitab Amsal, 265

0 komentar:

Posting Komentar