A.
Sejarah
dan Pengertian Emotivisme
Sejarah
emotivisme, emotivisme merupakan bagian dari Antinomianisme, Antinomianisme
secara harfiah berarti bahwa menentang/pengganti hukum dan menganggap bahwa
tidak ada hukum moral yang mengikat dan menganggap bahwa segala sesuatu
bersifat relatif. Dan emotivisme ini salah satu bentuk dari antinomianisme ini.
Emotivisme ini berkembang dari pemikiran yang dikenal dengan nama logikal
positivisme yang dikembangkan oleh Rudolf C, Moritz S, A.J. Ayer. Ayer salah
seorang yang terkenal dalam pemikiran emotivisme ini dengan bukunya Language, Truth And Logic.[1]
Emotivisme
adalah pernyataan-pernyataan yang ada merupakan satu ekspresi dari perasaan
kita, dan memperlihatkan bahwa pernyataan Etis bersifat emotif.[2]
Emotivisme merupakan suatu pandangan yang memiliki unsur utama dalam pengertian
moral yang terdiri atas fungsi dari perasaan emosi atau sikap dari penganut
emotivisme, atau membangkitkan perasaan yang sama atau sikap dari pendengarnya.[3]
Menurut etika emotif, teori tradisional etika melibatkan kerumitan persoalan
moral karena kegagalan memahami sehingga tidak ada konsep dalam etika normatif,
tetapi hanya secara fakta tidak berarti menggunakan seruan untuk menyatakan
atau menimbulkan perasaan.[4]
Etika emotif atau etika perasaan adalah pandangan yang merupakan bahasa moral
sederhana yang menyatakan dan mungkin menimbulkan perasaan, jadi tidak ada yang
kami katakan dalam istilah moral ialah salah satu apakah benar atau salah
tentang segala sesuatu.[5]
Emotivisme merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa penilaian moral pada
hakikatnya hanya merupakan masalah perasaan (emosi) belaka, dan karena perasaan
selalu bersifat subjektif, maka penilaian moral juga tidak mungkin ditentukan
benar-salahnya secara objektif. David Hume juga mengatakan hal yang senada
bahwa ia menolak adanya rasionalitas dan tidak ada hubungan kausalitas dalam
peristiwa sehari-hari. Apa yang kita lihat sebagai relasi tersebut, hanyalah
perasaan kita belaka. Segala sesuatu dianggap relatif oleh penganut emotivisme.
Artinya bahwa apa yang menurut perasaan seseorang benar maka itulah kebenaran,
jika menurut perasaannya salah maka itulah salah.
Karena
itu kita sekarang dapat melihat mustahil untuk menemukan kriteria yang tepat
untuk keputusan etika sehingga Ayer mengatakan :
It
is not because they have an absolute validity which is misteriously independent
of ordinary sense experience but because they have no objective validity
whatsoever.[6]
Karena
menurutnya etika adalah kebenaran yang belum diteliti, mereka mengekspresikan
perasaan, bukan membuktikan penyataan yang tegas tentang perasaan. Mereka
mengungkapkan perasaan dengan jelas dan dan sepertinya tidak datang dalam
kategori kebenaran dan kebohongan. Dalam
uraiannya tidak ada etika yang harus, tidak ada pernyataan dalam norma atau
ketentuan yang lain. Semua yang dinyatakan etika adalah semata-mata berdasaran
subjek dan individual, menyatakan perasaan seseorang. adanya emotif bukan
norma.[7]
B. Biografi tokoh-tokoh emotivisme
Tokoh-tokoh
yang kami temukan sebagai penganut pandangan emotivisme ialah Alfred Jules
Ayer, Charles Stevenson, David Hume. Dimulai dari Alfred Jules Ayer, dia adalah
Filsuf Inggris yang dilahirkan pada tahun 1910 M. Menerima pendidikan di Eton
dan Oxford, lalu ia pindah ke Austria dan ia belajar filsafat disana. Lalu ia
kembali ke negerinya untuk memegang jabatan dosen bidang filsafat pada salah
satu fakultas di Universitas Oxford. Ia juga menjadi dosen tamu di cina, Peru
dan Uni Sovyet (Rusia). Ia juga membimbing satu kelompok diskusi Filsafat, yang
hasilnya kemudian ia masukkan ke dalam bukunya yang berjudul The Problems of
Knowledge tahun 1956 M. Selain itu juga,
ia menjadi pembimbing penulisan-penulisan. Ayer juga menolak metafisika
filsafat tradisional, dalam pandangan Ayer metafisika merupakan sesuatu yang
mustahil karena berusaha untuk melintasi wilayah inderawi. Dengan begitu
metafisika menyajikan kepada kita berbagai persoalan palsu yang tidak bisa
dibuktikkan keabsahannya atau kedustaannya secara empirik. Ia menjelaskan
mengenai verifikasi eksperimental dan membagi itu dalam dua bagian yaitu
verifikasi kuat, merupakan cara langsung dan dengan kesesuaian antara ungkapan
yang kita ucapkan dengan realitas luar. Lalu verifikasi lemah, yaitu suatu
ungkapan menjadi absah dan memiliki makna, maka dalam kemungkinan eksperimennya
terdapat probabilitasnya. Ayer sampai pada kesimpulan bahwa analisa yang benar
terhadap persoalan kemerdekaan bergantung pada analisa makna berbagai kalimat
yang kita gunakan dalam deskripsi kita tentang persoalan seperti kausalitas,
keniscayaan, pemaksaan dan prediksi ilmiah.[8]
Charles Stevenson merupakan seorang filsuf analitis Amerika. Lahir di
Cincinati, Ohio pada 27 Juni 1908 dan meninggal pada 14 Maret 1979 di kota
Bennington,Vermont. Ia dikenal dengan pemikirannya tentang etika dan astetik.
Dia juga merupakan dosen di Universitas Yale pada tahun 1939-1946, ia tidak
bertahan lama karena jabatannya ditolak. Penolakkan tersebut terjadi akibat
dari dirinya yang menganut paham emotivisme. Ia pun menjadi dosen di
universitas michigan sejak tahun 1946-1977. Pemahamannya ini sangat
menghebohkan saat itu, ia pun mempertahankan pemahamannya melalui tulisannya
The Emotive Meaning of ethical terms tahun 1937, persuasive definitions tahun
1938, dan ethics and languange tahun 1944.[9]
David Hume juga merupakan salah satu tokoh dari penganut pandangan emotivisme.
Ia merupakan seorang Skot, ia lahir di dekat kota Edinburg pada tahun 1711.
Seperti banyak filsuf pencerahan, ia tidak pernah mengajar di Universitas,
mungkin juga karena dianggap Atheis sehingga tidak akan diterima sebagai
profesor. Ia banyak keliling di Eropa terutama di Perancis tempat ia bergaul
dengan para ensiklodis dan Rosseau. Kemudian ia menjadi sekretaris muda dalam
departemen luar negeri kerajaan inggris. Bukunya yang terkenal adalah A
Treatise of human nature (1739/40) Enquiry concerning human understanding 1748
dan enquiry concerning the principles of moral (1751). Ia meninggal pada tahun
1776. Hume dapat dianggap sebagai pemikir positivis pertama karena ia
menyangkal segala yang melebihi faktisitas murni. Etika menurut Hume adalah hal
perasaan moral, unsur bersama sifat-sifat tersebut adalah nikmat dan kegunaan.
Sesuatu itu kita nilai baik apabila memberikan hikmat atau bermanfaat jadi
penilaian moral mengungkapkan perasaan setuju atau tidak setuju. Yang menarik
adalah bahwa menurut Hume, kita tidak hanya terdorong untuk mengusahakan apa
yang berguna agar kita sendiri merasakan hikmat melainkan juga untuk membuat
orang lain terasa nikmat dan melindungi dia dari sakit. Jadi kita terdorong
untuk bersikap baik.[10]
C. Contoh-contoh pernyataan emotivisme
Contohnya
ialah seseorang yang mempunyai sikap pendiam adalah baik, artinya bahwa secara
emosional ialah “ya”, maka hal itu dinyatakan ya. Lalu Contoh mengenai
pernyataan “jangan membunuh” sebenarnya berarti bahwa saya rasa membunuh itu
salah. Menurut paham ini, pernyataan-pernyataan etis ialah hanya sekedar
peringatan untuk perasaan kita yang subjektif dan tidak ada unsur perintah
ilahi.[11]
Contoh berikut kamu tidak boleh mencuri berarti saya tidak suka mencuri atau
kamu tidak boleh berdusta berarti saya tidak suka berdusta dan saya mau kamu
tidak menyukai berdusta juga.
D. Tanggapan terhadap emotivisme
Kesulitan
yang dapat dilihat dengan emotivisme adalah bahwa paham ini
berusaha untuk
menentukan bahwa pernyataan etis itu tidaklah memberi perintah atau penunjuk.
Paham ini memerintahkan bahwa penytaan-penyataan harus tidak berarti bahwa
seseorang harus berbuat ini dan itu. Tetapi hanyalah saya rasa ini salah. Paham
ini mensahkan arti daripada mendengarkan arti. Paham ini menentukan
bagaiamanakah seharusnya arti pernyataan etis daripada mendengarkan apakah
artinya. Bahkan penganut emotivis tidak yakin bahwa segala sesuatu merupakan
masalah perasaan yang subjektif. Seperti yang lainnya penganut emotivis yakin
bahwa beberapa hal sebenarnya salah, seperti merampas manusia dari kemerdekaan
berpikir dan berekspresi. Cara penganut emotivis bereaksi bila ditipu,
dirampok, diserang atau disiksa mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya percaya
hal-hal ini salah.[12]
Dalam emotivisme juga ada hal yang positif karena tidak semuanya negatif yaitu,
adanya penekanan antara hubungan pribadi, penekanan respon seseorang dan adanya
pengakuan emosi. Namun beberapa masalah yang ada yaitu terlalu subjektif,
terlalu individual, terlalu relatif dan terlalu irrasional.[13]
E. Tanggapan kelompok terhadap
emotivisme
Menurut
pendapat kelompok kami, bahwa emotivisme ini merupakan paham atau pandangan
yang berpatokan pada perasaan. Akan bersifat seseorang itu tidak akan ada
etika, terlalu bebas karena tidak batasan dan terlalu individu. Jadi, apa yang menurut
perasaan seseorang benar maka itulah kebenaran, jika menurut perasaannya salah
maka itulah salah.
DAFTAR PUSTAKA
Geisler, Norman
1971 Ethics : Alternative and Issues, Michigan:
Zondervan Grand Rapids
Geisler, Norman
2001 Etika Kristen, Malang, Literatur SAAT
Henry, Carl F. H.
1973 Baker dictionary of Christian Ethics, Canon Press
Holmes, Arthur F.
1924 Ethics approaching Moral Decisions, England,
Intervarsity Press
Ismail, Fuad Farid
1978 Cara cepat menguasai ilmu filsafat, Yogyakarta, IRCISOD
Macquarrie, John
1967 A dictionary of christian ethics, London: SCM Press
Suseno Franz Magnis,
2003 13 tokoh etika, Yogyakarta, Kanisius
[1] Norman Geisler, Ethics : Alternative and Issues,
(Michigan: Zondervan Grand Rapids, 1971), 41
[2] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT,
2001), 33,37
[3] John Macquarrie, A dictionary of christian ethics (London:
SCM Press, 1967), 114
[4] Carl F. H. Henry, Baker dictionary of Christian Ethics (Canon
Press, 1973), 204
[5] Arthur F. Holmes, Ethics approaching Moral Decisions (England,
Intervarsity Press, 1924), 23
[6] Norman Geisler, Ethics : Alternative..., 42
[7] Ibid, 42-43
[8] Fuad Farid Ismail, Cara cepat menguasai ilmu filsafat (Yogyakarta,
IRCISOD, 1978), 119
[10] Franz Magnis suseno, 13 tokoh etika, (Yogyakarta, Kanisius,
2003), 123
[11] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT,
2001), 37
[12] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT,
2001), 45-46
[13] Norman Geisler, Ethics : Alternative,... 43-45
0 komentar:
Posting Komentar