Senin, 24 Juni 2013

Emotivisme



A.    Sejarah dan Pengertian Emotivisme
Sejarah emotivisme, emotivisme merupakan bagian dari Antinomianisme, Antinomianisme secara harfiah berarti bahwa menentang/pengganti hukum dan menganggap bahwa tidak ada hukum moral yang mengikat dan menganggap bahwa segala sesuatu bersifat relatif. Dan emotivisme ini salah satu bentuk dari antinomianisme ini. Emotivisme ini berkembang dari pemikiran yang dikenal dengan nama logikal positivisme yang dikembangkan oleh Rudolf C, Moritz S, A.J. Ayer. Ayer salah seorang yang terkenal dalam pemikiran emotivisme ini dengan bukunya Language, Truth And Logic.[1]
Emotivisme adalah pernyataan-pernyataan yang ada merupakan satu ekspresi dari perasaan kita, dan memperlihatkan bahwa pernyataan Etis bersifat emotif.[2] Emotivisme merupakan suatu pandangan yang memiliki unsur utama dalam pengertian moral yang terdiri atas fungsi dari perasaan emosi atau sikap dari penganut emotivisme, atau membangkitkan perasaan yang sama atau sikap dari pendengarnya.[3] Menurut etika emotif, teori tradisional etika melibatkan kerumitan persoalan moral karena kegagalan memahami sehingga tidak ada konsep dalam etika normatif, tetapi hanya secara fakta tidak berarti menggunakan seruan untuk menyatakan atau menimbulkan perasaan.[4] Etika emotif atau etika perasaan adalah pandangan yang merupakan bahasa moral sederhana yang menyatakan dan mungkin menimbulkan perasaan, jadi tidak ada yang kami katakan dalam istilah moral ialah salah satu apakah benar atau salah tentang segala sesuatu.[5] Emotivisme merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa penilaian moral pada hakikatnya hanya merupakan masalah perasaan (emosi) belaka, dan karena perasaan selalu bersifat subjektif, maka penilaian moral juga tidak mungkin ditentukan benar-salahnya secara objektif. David Hume juga mengatakan hal yang senada bahwa ia menolak adanya rasionalitas dan tidak ada hubungan kausalitas dalam peristiwa sehari-hari. Apa yang kita lihat sebagai relasi tersebut, hanyalah perasaan kita belaka. Segala sesuatu dianggap relatif oleh penganut emotivisme. Artinya bahwa apa yang menurut perasaan seseorang benar maka itulah kebenaran, jika menurut perasaannya salah maka itulah salah.
Karena itu kita sekarang dapat melihat mustahil untuk menemukan kriteria yang tepat untuk keputusan etika sehingga Ayer mengatakan :
It is not because they have an absolute validity which is misteriously independent of ordinary sense experience but because they have no objective validity whatsoever.[6]

            Karena menurutnya etika adalah kebenaran yang belum diteliti, mereka mengekspresikan perasaan, bukan membuktikan penyataan yang tegas tentang perasaan. Mereka mengungkapkan perasaan dengan jelas dan dan sepertinya tidak datang dalam kategori kebenaran dan kebohongan.  Dalam uraiannya tidak ada etika yang harus, tidak ada pernyataan dalam norma atau ketentuan yang lain. Semua yang dinyatakan etika adalah semata-mata berdasaran subjek dan individual, menyatakan perasaan seseorang. adanya emotif bukan norma.[7]

B.     Biografi tokoh-tokoh emotivisme
Tokoh-tokoh yang kami temukan sebagai penganut pandangan emotivisme ialah Alfred Jules Ayer, Charles Stevenson, David Hume. Dimulai dari Alfred Jules Ayer, dia adalah Filsuf Inggris yang dilahirkan pada tahun 1910 M. Menerima pendidikan di Eton dan Oxford, lalu ia pindah ke Austria dan ia belajar filsafat disana. Lalu ia kembali ke negerinya untuk memegang jabatan dosen bidang filsafat pada salah satu fakultas di Universitas Oxford. Ia juga menjadi dosen tamu di cina, Peru dan Uni Sovyet (Rusia). Ia juga membimbing satu kelompok diskusi Filsafat, yang hasilnya kemudian ia masukkan ke dalam bukunya yang berjudul The Problems of Knowledge tahun 1956 M.  Selain itu juga, ia menjadi pembimbing penulisan-penulisan. Ayer juga menolak metafisika filsafat tradisional, dalam pandangan Ayer metafisika merupakan sesuatu yang mustahil karena berusaha untuk melintasi wilayah inderawi. Dengan begitu metafisika menyajikan kepada kita berbagai persoalan palsu yang tidak bisa dibuktikkan keabsahannya atau kedustaannya secara empirik. Ia menjelaskan mengenai verifikasi eksperimental dan membagi itu dalam dua bagian yaitu verifikasi kuat, merupakan cara langsung dan dengan kesesuaian antara ungkapan yang kita ucapkan dengan realitas luar. Lalu verifikasi lemah, yaitu suatu ungkapan menjadi absah dan memiliki makna, maka dalam kemungkinan eksperimennya terdapat probabilitasnya. Ayer sampai pada kesimpulan bahwa analisa yang benar terhadap persoalan kemerdekaan bergantung pada analisa makna berbagai kalimat yang kita gunakan dalam deskripsi kita tentang persoalan seperti kausalitas, keniscayaan, pemaksaan dan prediksi ilmiah.[8] Charles Stevenson merupakan seorang filsuf analitis Amerika. Lahir di Cincinati, Ohio pada 27 Juni 1908 dan meninggal pada 14 Maret 1979 di kota Bennington,Vermont. Ia dikenal dengan pemikirannya tentang etika dan astetik. Dia juga merupakan dosen di Universitas Yale pada tahun 1939-1946, ia tidak bertahan lama karena jabatannya ditolak. Penolakkan tersebut terjadi akibat dari dirinya yang menganut paham emotivisme. Ia pun menjadi dosen di universitas michigan sejak tahun 1946-1977. Pemahamannya ini sangat menghebohkan saat itu, ia pun mempertahankan pemahamannya melalui tulisannya The Emotive Meaning of ethical terms tahun 1937, persuasive definitions tahun 1938, dan ethics and languange tahun 1944.[9] David Hume juga merupakan salah satu tokoh dari penganut pandangan emotivisme. Ia merupakan seorang Skot, ia lahir di dekat kota Edinburg pada tahun 1711. Seperti banyak filsuf pencerahan, ia tidak pernah mengajar di Universitas, mungkin juga karena dianggap Atheis sehingga tidak akan diterima sebagai profesor. Ia banyak keliling di Eropa terutama di Perancis tempat ia bergaul dengan para ensiklodis dan Rosseau. Kemudian ia menjadi sekretaris muda dalam departemen luar negeri kerajaan inggris. Bukunya yang terkenal adalah A Treatise of human nature (1739/40) Enquiry concerning human understanding 1748 dan enquiry concerning the principles of moral (1751). Ia meninggal pada tahun 1776. Hume dapat dianggap sebagai pemikir positivis pertama karena ia menyangkal segala yang melebihi faktisitas murni. Etika menurut Hume adalah hal perasaan moral, unsur bersama sifat-sifat tersebut adalah nikmat dan kegunaan. Sesuatu itu kita nilai baik apabila memberikan hikmat atau bermanfaat jadi penilaian moral mengungkapkan perasaan setuju atau tidak setuju. Yang menarik adalah bahwa menurut Hume, kita tidak hanya terdorong untuk mengusahakan apa yang berguna agar kita sendiri merasakan hikmat melainkan juga untuk membuat orang lain terasa nikmat dan melindungi dia dari sakit. Jadi kita terdorong untuk bersikap baik.[10]
C.    Contoh-contoh pernyataan emotivisme
Contohnya ialah seseorang yang mempunyai sikap pendiam adalah baik, artinya bahwa secara emosional ialah “ya”, maka hal itu dinyatakan ya. Lalu Contoh mengenai pernyataan “jangan membunuh” sebenarnya berarti bahwa saya rasa membunuh itu salah. Menurut paham ini, pernyataan-pernyataan etis ialah hanya sekedar peringatan untuk perasaan kita yang subjektif dan tidak ada unsur perintah ilahi.[11] Contoh berikut kamu tidak boleh mencuri berarti saya tidak suka mencuri atau kamu tidak boleh berdusta berarti saya tidak suka berdusta dan saya mau kamu tidak menyukai berdusta juga.

D.    Tanggapan terhadap emotivisme
Kesulitan yang dapat dilihat dengan emotivisme adalah bahwa paham ini
berusaha untuk menentukan bahwa pernyataan etis itu tidaklah memberi perintah atau penunjuk. Paham ini memerintahkan bahwa penytaan-penyataan harus tidak berarti bahwa seseorang harus berbuat ini dan itu. Tetapi hanyalah saya rasa ini salah. Paham ini mensahkan arti daripada mendengarkan arti. Paham ini menentukan bagaiamanakah seharusnya arti pernyataan etis daripada mendengarkan apakah artinya. Bahkan penganut emotivis tidak yakin bahwa segala sesuatu merupakan masalah perasaan yang subjektif. Seperti yang lainnya penganut emotivis yakin bahwa beberapa hal sebenarnya salah, seperti merampas manusia dari kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Cara penganut emotivis bereaksi bila ditipu, dirampok, diserang atau disiksa mengungkapkan bahwa mereka sebenarnya percaya hal-hal ini salah.[12] Dalam emotivisme juga ada hal yang positif karena tidak semuanya negatif yaitu, adanya penekanan antara hubungan pribadi, penekanan respon seseorang dan adanya pengakuan emosi. Namun beberapa masalah yang ada yaitu terlalu subjektif, terlalu individual, terlalu relatif dan terlalu irrasional.[13]

E.     Tanggapan kelompok terhadap emotivisme
Menurut pendapat kelompok kami, bahwa emotivisme ini merupakan paham atau pandangan yang berpatokan pada perasaan. Akan bersifat seseorang itu tidak akan ada etika, terlalu bebas karena tidak batasan dan terlalu individu. Jadi, apa yang menurut perasaan seseorang benar maka itulah kebenaran, jika menurut perasaannya salah maka itulah salah.












DAFTAR PUSTAKA

Geisler, Norman
1971                Ethics : Alternative and Issues, Michigan: Zondervan Grand Rapids
Geisler, Norman
2001                Etika Kristen, Malang, Literatur SAAT
Henry, Carl F. H.
1973                Baker dictionary of Christian Ethics, Canon Press
Holmes, Arthur F.
1924                Ethics approaching Moral Decisions, England, Intervarsity Press
Ismail, Fuad Farid
1978                Cara cepat menguasai ilmu filsafat, Yogyakarta, IRCISOD
Macquarrie, John
1967                A dictionary of christian ethics, London: SCM Press
Suseno Franz Magnis,
2003                13 tokoh etika, Yogyakarta, Kanisius


[1] Norman Geisler, Ethics : Alternative and Issues, (Michigan: Zondervan Grand Rapids, 1971), 41
[2] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT, 2001), 33,37
[3] John Macquarrie, A dictionary of christian ethics (London: SCM Press, 1967), 114
[4] Carl F. H. Henry, Baker dictionary of Christian Ethics (Canon Press, 1973), 204
[5] Arthur F. Holmes, Ethics approaching Moral Decisions (England, Intervarsity Press, 1924), 23
[6] Norman Geisler, Ethics : Alternative..., 42
[7] Ibid, 42-43
[8] Fuad Farid Ismail, Cara cepat menguasai ilmu filsafat (Yogyakarta, IRCISOD, 1978), 119
[10] Franz Magnis suseno, 13 tokoh etika, (Yogyakarta, Kanisius, 2003), 123
[11] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT, 2001), 37
[12] Norman Geisler, Etika Kristen,(Malang, Literatur SAAT, 2001),  45-46
[13] Norman Geisler, Ethics : Alternative,... 43-45

0 komentar:

Posting Komentar